Satoteliter, Perang Ternak Hingga Militer di Tanah Sunda

0
80
Gambar ilustrasi

Histourism – Di Kecamatan Cikoneng, Ciamis, ada istilah perang satoteliter, yang artinya perang dari sato (ternak) sampai militer.

Ungkapan itu merupakan wujud manunggalnya antara rakyat dan tentara pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Rakyat yang tidak dapat mengangkat senjata karena faktor usia tidak mau ketinggalan untuk membantu para pejuang.

Mereka mengorbankan harta bendanya, termasuk ternaknya untuk disuguhkan kepada para pemuda, tentara Siliwangi, Hizbullah, Sabilillah, yang terus-menerus memberikan perlawanan kepada Belanda.

Perang memang tidak semata-mata mengandalkan semangat juang saja, urusan perut tetap tak bisa dikesampingkan. Maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut giliran rakyatlah yang berjuang menyediakan makanan.

Di Cikoneng, Laskar Sabilillah termasuk paling merepotkan Belanda. dan wilayah-wilayah yang dijadikan markasnya adalah Desa Gunung Cupu, Budiharja, Sukaraja dan Sukasenang. Karena seringnya mengganggu tentara Belanda, maka selama sepuluh hari wilayah Cikoneng digempur habis-habisan.

Dan akibatnya banyak rakyat yang ditangkap dan ditawan karena dianggap laskar pejuang. Sedangkan yang berhasil lolos, bersembunyi ke daerah pegunungan. Seperti Gunung Sawal, Cakrabuana dan Galunggung.

Dalam Buku Sejarah Ciamis yang disusun oleh Prof. Dr. H. Dadan Wildan M.Hum, disebutkan bahwa kelak pada perkembanganya laskar Hizbullah dan Sabilillah yang bersembunyi di gunung-gunung tersebut bergabung dengan Tentara Islam Indonesia (TII) yang dibentuk oleh S.M Kartosuwiryo pada Februari 1948 akibat kecewa terhadap perjanjian renville pada 17 Januari 1948. Kelompok ini menolak untuk hijrah ke daerah Republik dan menyerahkan senjatanya kepada Tentara Republik.

Untuk menghindarkan serangan Belanda, kelompok ini selalu berpindah-pindah, tercatat diantaranya pada 15 Februari 1948 kedudukan TII berada di Cihaur, di kaki Gunung Cupu, kemudian pindah ke Bojonggaok, lalu ke Cidolog dan akhir Februari 1948 pindah lagi ke Kadupugur.

Ketika long march Pasukan Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat (akibat agresi Militer Belanda ke II tanggal 19 Desember 1948) pasukan ini disambut oleh dua musuh sekaligus, Yaitu Belanda dan TII, terutama di daerah Ciamis dan Tasikmalaya.
Salah satu Pasukan Siliwangi yang mengalami hal itu adalah Batalyon Nasuhi. Semenjak tiba di wilayah Ciamis Utara, Batalyon ini sudah disambut oleh Belanda, sehingga pertempuran panjang pun berlangsung di sepanjang kali Cijulang, Subang, Kuningan, Rancah, Lemahneundeut dan lain-lain.

Setelah bersusah payah serta dalam kondisi lemah fisik dan mental akibat banyaknya pertempuran yang dialami, batalyon ini tiba di daerah Sindangbarang Panjalu, dengan harapan rakyat dan pejuang yang tidak ikut hijrah akan menyambutnya dengan baik. Tapi ternyata yang ditemui oleh batalyon ini adalah para-pemuda berbaju hitam, dan sebagian darinya bersenjata.

Secara halus mereka menawarkan makanan namun lambat laun merekapun membujuk Batalyon Nasuhi untuk masuk menjadi anggota TII. Bujukan itu ditolak, dan akibatnya anggota TII itu memaksa mengambil senjata anggota Baltalyon Nasuhi.