Ende, Soekarno, Pohon Sukun dan Pancasila

0
90
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno

Histourism – Kota Ende adalah jantung dari Flores, tempat sejuta kenangan ditambatkan diteduh pohon sukun nan rindang.

Lelaki itu sering duduk dibawahnya, menikmati setiap senja untuk berbagi kisah dengan angin laut tentang kabar pergerakan dari seberang laut atau narasi kecintaan yang berdenyut kuat dalam benaknya.

Di tempat itulah selepas Sholat Ashar, Soekarno banyak merenung untuk mengkristalkan lima butir Pancasila, kadangkala tengah malam sampai larut menjelang subuh.

Pohon Sukun sebagai saksi hidup tempat Soekarno merenungkan Pancasila, adalah pohon yang ketiga. Menggantikan Pohon Sukun pertama hidup kemudian tumbang karena uzur tahun 1960-an. Kemudian sempat ditanam ulang namun tumbuh hanya dua cabang dan kemudian mati.

Setelah diadakan doa dan upacara, penanaman Pohon Sukun yang ketiga, akhirnya bisa tumbuh dengan baik dan bercabang lima. Dari bawah pohon Sukun yang pertama itulah dikemudian hari, tanggal 1 Juni 1945 lima butir Pancasila diumumkan secara resmi di depan sidang Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai.

Cindy Adams menuliskan kisah pohon sukun bercabang lima dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, yang dikutipnya dari Koran Regional Pos Kupang.

Kisah diatas, telah menjadi harga mati bagi masyarakat Ende, bahwa Pancasila lahir di Ende sebagai blessing in disguise, hikmah dibalik musibah. Bahwasanya Soekarno dibuang oleh Hindia Belanda ke kampong Ambugage, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak Tanggal 14 Januari 1934 sampai 18 Oktober 1938.

Ditempat pembuangannya itu Soekarno memperdalam pandangan religiusnya dan menggali Pancasila, buku berjudul Bung Karno : Ilham dari Flores Untuk Nusantara, cukup gambling mengisahkan perenungan Bung Karno di Ende.

Di Ende Bung Karno menghuni rumah yang berada di Jalan Perwira, Kelurahan Kotaratu, Kecamatan Ende Selatan. Rumah yang sederhana layaknya tempat tinggal penduduk. Dengan ditemani istrinya Inggit Garnasih, Ibu Amsi (mertuanya), Ratna Djuami (Anak angkatnya) dan Asmara Hadi (guru anak angkatnya) mereka tinggal selama empat tahun.

Rumah itu tetap terpelihara baik, dibelakangnya ada sumur sedalam 12 meter yang digunakan keluarga Bung Karno. Rumah Bung Karno kini menjadi situs sejarah yang keramat bagi masyarakat Ende. Siapapun yang mau berkunjung diharuskan permisi kepada Bung karno.

Bahkan air sumur dibelakang bangunan konon mempunyai khasiat untuk kesembuhan penyakit dan obat awet muda. Rumah dan pohon sukun adalah saksi sejarah Bung Karno di Ende, begitupun lingkungan Ende yang multikultural.

Apa yang direnungkan oleh Bung Karno tidak lepas dari apa yang dilihat, dicerna dan dirasakan dari apa yang ada di Ende. Dari kisah jaman nenek moyang, Masyarakat Ende merupakan keturunan Roroe dan Modo.

Kata ende sendiri dalam pemahaman umum di flores berasal dari kata Cindai, tenunan besar indah nan mahal yang sejenis dengan sarung patola yang menjadi komoditi perdagangan dalam pelayaran di Ende.

Dalam Encyclopedia Britannica data demografis Ende di tahun 1930, menggambarkan penduduk Ende yang multikultur dengan kalimat: penduduk Flores pada tahun 1930 terutama tipe Melayu-Papua campuran. Di barat, orang Manggarai lebih berkarakteristik Melayu, sementara di bagian tengah dan timur, penduduk lebih Papua dalam tampilannya.

Selain itu ada pemukiman di sepanjang pantai, dari Makasar, serta pulau Sumba, Sumbawa dan Solor. Di Todo, Manggarai, pendatang dikatakan berasal dari Melayu Minangkabau. Dan di pantai Ende ada keturunan China yang kapalnya karam. Penduduk pribumi kebanyakan penyembah berhala, tetapi ada banyak pemeluk Kristen di antara penduduk pantai timur dan sejumlah muslim di Manggarai.